Seperti dilansir pbdjarum.org, menjadi pelatih ternyata merupakan impian Hayom sejak kecil. Setelah mengalami cedera lutut parah pada Desember 2015 silam, pebulutangkis kelahiran Kulon Progo 1988 ini terpaksa harus beristirahat panjang. Bahkan, ia pun harus mengubur dalam-dalam harapannya untuk bisa berlaga di ajang Olimpiade Rio de Janeiro 2016 lalu.
Sempat comeback pada 2016, Hayom pun kemudian menyadari bahwa dirinya kesulitan untuk kembali ke level atas. Setahun setelahnya, Hayom menerima tawaran untuk menjadi pelatih sektor tunggal remaja (U-17) di PB Djarum Kudus.
“Kalau ditanya alasan jadi pelatih itu karena waktu itu kan cedra, lalu nggak lama operasi. Setelah sembuh, coba main lagi tapi hanya sebentar. Karena saya merasa mainnya nggak maksimal buat tembus ke level atas,” ungkap Dionysius Hayom Rumbaka.
“Ya tahap-tahap pemain setelah pensiun kan kadang suka bingung mau mana. Mau bisnis, kerja kantoran atau ngelatih. Untungnya dapat kesempatan ngelatih di Djarum dan sesuai dengan hobi saya. Memang dari saya kecil sudah ada impian kalau nggak jadi atlet lagi, ya kepengennya sih ngelatih,” jelasnya menambahkan.
Sejak menjalani peran sebagai pelatih, Hayom mengatakan bila dirinya tidak merasakan hal-hal yang negatif. “Nggak ada dukanya sih. Senang saja semuannya. Pertama ngelatih juga nggak dag dig dug atau kaku ya. Karena memang ini bidang saya dari kecil. Dan sudah merasakan banyak ganti pelatih jadi bisa belajar dari pelatih yang dulu. Kurang lebih sudah ngertilah jadi pelatih itu harus gimana,” bebernya.
Sebagai pelatih, tentunya Hayom berharap besar bila anak didiknya kelak bisa mengharumkan nama bangsa dan klub di kancah internasional. “Yang pasti bisa mengharumkan Indonesia. Apa lagi PB Djarum sekarang butuh juara dunia dan juara Olimpiade dari sektor tunggal. Semoga saja dapat terwujud,” harapnya.