Melawat Ke Desa Lawatan, Sentra Perajin Shuttlecock di Tegal

Melawat Ke Desa Lawatan, Sentra Perajin Shuttlecock di Tegal
Photo Credit : beritadaerah.co.id
Nasional ‐ Created by Kimi

Shuttlecock atau di Indonesia biasa di sebut "kok" saja adalah salah satu elemen terpenting dalam olahraga bulutangkis. Kok berfungsi sama seperti bola dalam olahraga tenis yaitu sebagai bola yang dipukul atlet dengan berbagai macam tehnik pukulan menggunakan raket ke bidang permainan lawan melampaui net.

Berkaitan dengan hal tersebut, Djarum Badminton akan bercerita sedikit tentang satu daerah di Indonesia yang telah lama dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki sentra produksi kok.

Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah, selain dikenal sebagai "eksportir" warung makan ke berbagai wilayah di bumi pertiwi, ternyata juga memiliki beberapa Dusun atau Kampung yang penduduknya mencari penghidupan dari aktifitas sebagai perajin kok. Diantaranya yakni Desa Lawatan, Dusun Serayu Kelurahan Panggung, Desa Dukuh Sampak, Desa Randu Gunting, dan Kalinyamat.

Desa Lawatan, Kabupaten Tegal, adalah desa yang berpenduduk mencapai 9.700 jiwa atau 1.840 kepala keluarga. Disana, hampir seluruh penduduknya menjadi perajin kok. Mereka lebih tepat dilabeli perajin karena memang dalam proses produksinya minim penerapan teknologi yang serba otomatis alias canggih.

Pun demikian, dalam sehari, ternyata para perajin kok di Desa Lawatan saja sanggup memproduksi hingga 12.000 buah kok.

Dalam sistem produksinya, perajin boleh dibilang hanya merakit saja, proses pembuatan mulai dari pencucian bahan baku berupa bulu unggas, pengguntingan, penjahitan, pemasangan bulu hingga pembentukan kok dilakukan para perajin di desa itu. Sementara seluruh bahan produksi dikirim oleh pengusaha yang mengontrak jasa mereka. Perajin tinggal menyesuaikan dengan standar yang disyaratkan pengusaha.

Selain gabus pemberat kok yang sekaligus menjadi penampang bulu angsa, yang hingga kini masih di import dari Portugal dan Spanyol, bahan baku lain seperti bulu angsa didapatkan dari daerah Jepara, Jawa Tengah.

Seorang bos perajin membutuhkan setidaknya 20 orang pekerja dengan penghasilan rata-rata sekitar Rp 5 ribu hingga Rp 20 ribu sehari. Untuk pemasaran kok hasil produksinya, mereka sama sekali tidak menemui kesulitan karena hasil kerajinan yang tidak diberi logo atau merk tersebut secara rutin dikirimkan ke Jakarta dan Bandung. Per lusinnya, kok buatan perajin Lawatan dijual dengan harga sekitar Rp 32.700 setiap lusin.

Sedangkan hasil kerajinan yang tidak memenuhi standar karena sebab kesalahan dalam pengerjaannya alias afkir, dikirim ke pengepul di Jateng dan Jawa Timur dengan harga jual sekitar Rp 22 ribu setiap lusin.